KOMPAS.com - Perjalanan ke Medan, Sumatera Utara itu diawali dengan datangnya undangan pernikahan seorang sahabat. Acara pernikahan tersebut akan diadakan pada akhir pekan, sehingga tentunya jadwal perjalanan akan amat ketat apabila saya ingin datang ke acara tersebut, berhubung saat itu saya dan teman-teman adalah pekerja kantoran. Dari diskusi lebih lanjut dengan beberapa orang teman, akhirnya diputuskan saya akan berangkat dengan dua orang teman lainnya, yakni Ayu dan Puti, dengan jadwal Sabtu pagi berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta dan pulang pada hari Minggu pagi.
Berhubung kami bertiga belum pernah ke Medan, jadwal perjalanan yang amat singkat itu tentunya membuat kami tidak ingin rugi, pokoknya harus puas jalan-jalan selama di Medan! Dengan bermodalkan informasi dan peta Medan temuan dari internet, booklet sebuah majalah wanita berjudul “Akhir Pekan di Medan”, tiket pesawat, ransel, dan didukung dengan niat yang teguh, berangkatlah kami ke Medan.
Tiba di Bandara Polonia
Sesampainya di Bandara Polonia Medan, kesan pertama saya, “Wah Medan udaranya ternyata mirip Jakarta ya…” Kebetulan hari itu panas tapi berangin, sehingga siang itu terasa lumayan sejuk. Bandara Polonia ini benar-benar terletak di tengah kota, berbeda dengan Bandara Soekarno-Hatta yang berada di pinggiran kota.
Dari Bandara Polonia, kami langsung bertolak ke Asrama Haji Medan. Penginapan yang disediakan oleh teman saya yang akan menikah ini berjarak sekitar 10 hingga 15 menit jika menggunakan taksi dari Bandara Polonia. Sepanjang perjalanan kami mengamati bahwa ternyata jalan raya di Medan itu relatif lebar dan lancar. Tampaknya kendaraan di Medan masih belum terlampau banyak, apalagi jika dibandingkan dengan Jakarta yang macetnya sudah sulit untuk ditanggulangi karena padatnya jumah kendaraan yang ada.
Begitu kami tiba di penginapan untuk menaruh ransel dan cuci muka, kami langsung berangkat kembali untuk berkeliling kota Medan. Namun kini kami didampingi seorang tour guide dadakan bernama Vebby, yang juga merangkap sebagai sepupu dari Ayu, hehehe.
Becak Motor
Saat keluar dari Asrama Haji, kami langsung tertarik untuk mencoba becak motor yang banyak mengetem di luar gerbang asrama. Becak motor ini unik, mirip becak tapi tidak dikayuh melainkan menggunakan sepeda motor, tempat duduknya pun bisa berpandang-pandangan depan-belakang. Pada akhirnya becak motor ini menjadi transportasi favorit kami selama di Medan. Cepat, relatif ekonomis, kapasitas lumayan luas untuk 2 hingga 3 orang, dan paling penting: nyaman. Saran saya untuk para backpacker, gunakanlah becak motor saat sedang berkeliling Medan agar soul kota Medan lebih terasa.
Minggir Bang!
Hari pertama, jadwal kami sudah penuh dengan berbagai tujuan wisata kuliner dan jalan-jalan. Persinggahan pertama kami adalah Restoran Pasir Putih, di sini kami mencoba makan dimsum dan jus terong belanda khas Medan. Terong Belanda ini rasanya mirip jambu, asam segar dan berwarna merah.
Dari sini, kita mengendarai angkot untuk berangkat ke tujuan selanjutnya. Bedanya dengan angkot di kota lain yang biasanya menggunakan kata “Kiri Bang!” untuk memberhentikan angkot, di sini kami baru tahu ternyata di Medan kata-katanya berbeda, yakni dengan menggunakan kata-kata “Minggir Bang!” Ha-ha-ha, terdengar lucu juga di telinga awam kami.
Lanjut ke Mie Aceh Titi Bobrok, di sini kami mencoba Mie Aceh CPC (daging) dan Mie Aceh Kepiting. Harganya termasuk murah, antara Rp 6.000 hingga Rp 11.000, dan porsinya relatif besar, ditanggung kenyang. Saat kita bertanya, CPC itu kepanjangan dari apa, abangnya cuma tersenyum simpul sambil menjawab, "Spesial..." Oalahhh, CPC itu singkatan dari "Ce-Pe-Cial"!
Mie Aceh Kepitingnya juga mantap. Sebelumnya kami menyangka bahwa daging kepitingnya ya berupa suwiran daging kepiting, eh ternyata kami mendapatkan satu kepiting utuh yang masih bercangkang yang di atasnya dituangkan Mie Aceh. Sempat terjadi adegan dramatis saat Puti berusaha "membongkar" daging kepiting yang terdapat di sela-sela cangkang. Yups! Seperti dugaan Anda semua, cangkang-tak-bersalah itu terlontar dari tangannya dan mendarat dengan sukses di lantai resto. Mantab kali... Kami hanya bisa terpana dan sedetik kemudian ketawa ngakak.
Setelah puas makan, kami bertolak ke Bika Ambon Zulaikha, tempat beli oleh-oleh khas Medan. Kami membeli Teri Medan, Sirop Terong Belanda, Sirop Markisa, dan Bika Ambon, tentunya.
Bagi yang menyukai arsitektur dan sejarah, dapat mengunjungi Istana Maimoon dan Masjid Raya Al-Mansun. Walau kondisi Istana Maimoon terlihat agak suram, namun detail pewarnaan dinding dan ornamennya bagus sekali.
Kami juga sempat singgah di Masjid Raya Al-Mansun untuk shalat sekaligus foto-foto. Wah begitu masuk bangunan masjid ini, saya langsung terkagum-kagum ngeliat detail ornamen arsitekturalnya. Tingkat kedetailan dan keindahan ornamen arsitektural tempat ibadah ini benar-benar patut diacungi jempol. Sayang tidak sempat saya abadikan dengan kamera karena saat itu kamera saya titipkan ke Vebby.
Selesai menunaikan sholat, kami tertarik untuk jajan Es Tebu. PKL yang menjual Es Tebu ini ada di depan Masjid Raya Al-Mansun. Saya baru sekali itu minum Es Tebu asli. Jadilah saya terpana melihat cara prosesnya yang sederhana. Tebu digiling dengan sebuah alat, trus air tebu yang keluar diwadahi di panci besar. Lalu air perasan tersebut dituang ke gelas berisi es dan dapat langsung diminum. Satu gelas air tebu dapat diperoleh dengan Rp 3.000.
Seakan belum puas jajan, kami juga membeli satu bungkus Rujak Padang di seberang Masjid untuk cemilan di penginapan. Dengan Rp 8.000, Anda akan mendapat satu bungkus rujak yang melimpah dengan bumbunya yang enak, cukup untuk porsi 2 hingga 3 orang.
Lelah berkeliling Medan, kami kembali ke penginapan sebentar untuk bebersih sebelum berangkat jalan-jalan lagi setelah waktu mahgrib. Setelah tenaga kami kembali, jadwal malam itu adalah mengunjungi Sun Plaza, yang katanya adalah mal terbaru dan termewah di Medan, tapi kami ke sini hanya untuk membeli pasta gigi dan tisu basah.
Dari mal mewah itu, perjalanan kami berlanjut ke Merdeka Walk. Berhubung malam minggu, kawasan pujasera di pusat kota ini tampak ramai sekali. Suasana di Merdeka Walk ini seperti suasana di Bras Basah Malaysia atau jalan-jalan di Singapura saat malam hari. Atau kalau versi lokalnya, mirip Benton Junction di Lippo Karawaci.
Di Merdeka Walk, kami mencoba Sate Kambing bumbu Kecap, Sate Ayam bumbu Padang, dan Sate Lembu bumbu Kacang racikan Sate Nasional, cukup untuk mengisi perut kami yang lapar. Kami juga sempat menyicipi Nasi Lemak dari Resto Nelayan, sebungkus Rp 4.000, enak juga tapi sayangnya porsinya benar-benar sedikit, mirip dengan porsi nasi kucing di Semarang. Tak terasa hari sudah malam, saatnya kami pulang ke penginapan untuk beristirahat demi cadangan energi besok.
Pajak Petisah dan Perburuan Durian
Tujuan utama kami di hari kedua adalah Pajak Petisah, alias Pasar Petisah. “Pajak” adalah bahasa Medannya “Pasar”. Tapi sebelumnya kami mencari pengisi perut dulu di Jalan Ahmad Yani. Dari Asrama Haji ke Jalan Ahmad Yani hanya menghabiskan Rp 20.000 dengan menumpangi sebuah becak motor, padahal perjalanan terasa cukup jauh. Lucunya, sopir becak motor yang kami tumpangi ternyata juga tidak terlalu mengenal jalan, sehingga kami pun sekalian berputar-putar kota Medan untuk mencari jalan tersebut. Selama perjalanan, kami baru tahu bahwa sopir becak motor kami ternyata berasal dari Jakarta! Ia baru dua tahun menetap di Medan.
Namun berkat rahmat-Nya, akhirnya kita sampai juga di Ahmad Yani. Jalan Ahmad Yani ini mirip seperti Jalan Otista dan sekitarnya di Bandung. Banyak bangunan ruko-ruko tua yang arsitekturnya menarik. Pertama yang kami cari adalah Sate Kerang Bata, tempatnya berada di samping toko sepatu Bata jalan Ahmad Yani. Sate Kerang ini adalah kerang yang dibalut kelapa yang disangrai sampai warnanya cokelat, enak tapi tidak terlalu mengenyangkan. Agak mahal, 1 tusuk Rp 3.000.
Kemudian kami mencari Bihun Bebek Kumango, tapi sayangnya hari Minggu tutup. Sehingga akhirnya kami menyeberang ke Lapangan Merdeka sembari mengamati kegiatan warga lokal di pagi hari.
Dengan angkot, kami menuju Pajak Petisah. Rencananya mau menemani Ayu mencari baju batik, tapi ternyata tidak ada yang menarik. Ya sudah, akhirnya kita mencari makan Bakso Petisah yang berada di depan pasar, rasanya daging banget dan kaya akan bumbu, ladanya amat terasa di lidah. Walaupun tidak menggunakan kecap dan pendampingnya, bakso ini sudah enak dimakan begitu saja. Kami juga sempat menyicipi Es Buah yang warna-warni, Es Cincau yang segar dan Es Campur yang bersantan. Puas makan, kami pun pulang ke penginapan untuk bersiap-siap ke kondangan, dan bersiap-siap untuk acara utama, yakni makan lagi.
Tidak terasa tiba-tiba sudah jam setengah lima sore. Begitu pesta selesai, kita langsung bersiap-siap packing dan menuju bandara. Sampai Bandara Polonia, kami dikejutkan oleh pengumuman bahwa pesawat kami di-delay sampai 21.05!
Tidak kehabisan akal, kami langsung beralih mencari durian di Jalan Glugur. Makan teruusss. Kami sempat diwanti-wanti teman kami yang sudah menjadi istri orang, "Duren kalo diminta 5.000 jangan mau! Itu kemahalan!" Dengan berbekal wangsit dari sang pengantin, kami pun menuju Jalan Glugur tempat para duren berkumpul.
Kami mendapat satu pelajaran kecil dari pencarian durian ini: Naik taksi ke jalan Glugur, turun di salah satu kedai Duren dengan menenteng bawaan seperti pemudik, ternyata merupakan langkah yang bodoh untuk menawar duren. Masa kita langsung dikasi harga Rp 35.000 per duren! Mana duriannya kecil-kecil.
Akhirnya kita ke kedai kedua, diberi harga Rp 25.000. Hmm, no thanks. Ke kedai ketiga, baru diberi Rp 12.000. Yah masih lumayan lah, mungkin memang belum musim hingga harganya masih mahal. Tips dari teman saya yang ornag Medan asli, kalau mau dapat durian murah, coba datang ke Medan sekitar bulan Juni-Juli. Tak apalah, yang penting keinginan untuk makan durian di Medan akhirnya terlampiaskan.
Selesai makan durian, kami kembali lagi ke bandara. Untungnya kami mendapat nasi boks dari maskapai penerbangan yang kami tumpangi, tampaknya sebagai permohonan maaf atas keterlambatan pesawat. Setelah menunggu sebentar di Bandara Polonia sembari menghabiskan nasi boks, kami pun langsung boarding.
Medan, tampaknya saya akan segera kangen untuk jalan-jalan ke sana lagi. Tentunya untuk mencicipi sajian kuliner lainnya yang belum saya coba…
Sumber: http://travel.kompas.com/read/2010/12/29/21350556/Wisata.Kuliner.Akhir.Pekan.di.Medan
0 comments:
Post a Comment